Kab.Mimika sedang menghadapi kekosongan obat penyakit Malaria.
Kabupaten Mimika saat ini sedang menghadapi tentangan serius dalam penanganan penyakit malaria.
Mimika tercatat sebagai salah satu wiayah dengan angka kasus malaria tertinggi di Papua, berdampingan dengan Kab.Nabire.
Namun sangat disayangkan, di tengah meningkatnya jumlah penderita, ketersediaan obat malaria justru mengalami kekosongan.
Obat yang dikenal masyarakat dengan sebutan “obat biru” dilaporkan tidak tersedia di sejumlah Puskesmas. Kondisi ini memicu keresahan warga sekitar, terutama di wilayah Distrik Mimika Timur.
Anggota SPRK Mimika Komisi ll Partai Perindo Fraksi Eme Neme Yauware HJ. Rampeani Rahman menyampaikan keprihatinannya dan mendesak Dinas Kesehatan untuk segera mengambil langkah konkret.
“Obat malaria biru yang biasa dikonsumsi masyarakat sedang kosong. Ini buka kali pertama terjadi,” ungkapnya.
“Seharusnya Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika sudah menyiapkan langkah antisipasi, karena malaria adalah penyakit yang paling mematikan dan sering menyerang warga Mimika.” sambungnya.
Berikutnya, warga tersebut terpaksa mengonsumsi obat jenis lain berwarna putih, berjumlah 10 butir, yang harus dilarutkan dalam air.
Namun, menurut Hj. Rampeani, obat tersebut kurang efektif dan menimbulkan keluhan dari banyak pasien.
“Obat ini rasanya sangat pahit dan sulit diterima. Banyak pasien yang tidak sanggup menghabiskannya. Akibatnya banyak yang memilih tidak minum obat, dan itu sangat berbahaya karena bisa menimbulkan komplikasi atau bahkan kematian,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa dalam situasi musim hujan seperti sekarang, penyebaran malaria sangat rentan meningkat.
Oleh sebab ini pemerintah daerah wajib memastikan ketersediaan obat dalam jumlah memadai dan tepat waktu.
“Malaria tidak mengenal status sosial. Semua lapisan masyarakat bisa terjangkit. Maka ketersediaan obat malaria harus menjadi perhatian utama. Jangan lagi ada cerita bahwa stok obat habis, apalagi terjadi berulang tiap tahun,” tutup Hj. Rampeani.